Hari ini kita berada tepat pada tanggal 3 Dzulhijjah 1446 hijriah. Dzulhijjah adalah bulan terakhir atau menempati urut ke 12 dalam hitungan tahun hijriah. Para ulama menegaskan bahwa berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW, Dzulhijjah merupakan satu di antara empat bulan yang dimuliakan dalam Islam, sebagaimana sabda Nabi:
Jumlah bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, empat bulan diantaranya adalah bulan haram, tiga bulan berturut-turut: Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab Mudar yaitu antara Jumada dan Sya’ban.
Para ulama juga menyatakan bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah memiliki kemuliaan yang sangat istimewa. Anugrah kemuliaan ini ditengarai karena banyak peristiwa penting nan agung terjadi di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, yaitu puncak prosesi manasik haji, wukuf di Arafah, puasa Arafah bagi yang tidak berhaji, Idul Adlha dan ayyamunnahri (ibadah qurban) hingga turunnya Al Qur’an surat Al Maidah ayat ke 3 yang menjelaskan kesempurnaan agama Islam sebagai anugrah keni’matan terbesar bagi umat manusia. Saking besarnya kemuliaan sepuluh hari pertama Dzulhijjah sampai Rasullah SAW menyampaikan:
Tidak ada hari kerja yang baik di dalamnya, saya mencintai Tuhan dari sepuluh hari ini, maksud saya, sepersepuluh dari Dhu al -Hijjah, jadi mereka berkata, wahai utusan Tuhan, dan bukan jihad demi Tuhan? Dia berkata: Tidak ada jihad demi Tuhan, kecuali untuk seorang pria yang keluar sendiri dan uangnya, dan dia tidak kembali dari itu dengan apa pun (diriwayatkan oleh al -bukhari 969)
"Tidak ada hari ketika badan amal di dalamnya lebih dicintai oleh Tuhan daripada sepuluh hari itu berarti sepuluh dzulhijjah." Mereka bertanya, "Wahai utusan Allah, bahkan jihad di jalan Allah?" Dia menjawab, "Meskipun berjuang di jalan Tuhan, kecuali orang yang keluar dengan jiwanya dan kekayaannya dan tidak kembali." (Hr. Bukhari, 969).
Hal yang sama berlaku untuk puasa besar 'arafah puasa di taggal 9 dzulhijjah adalah puasa sunnah terhebat, seperti yang dikatakan utusan Allah (semoga damai) mengatakan:
Hari hari hari Allah memperhitungkan Tuhan untuk menebus Sunnah di hadapannya dan Sunnah di belakangnya. (Diriwayatkan oleh Muslim)
"Puasa Arafat, kuharap Tuhan akan memberantas dosa setahun yang lalu dan setahun mendatang." (Hr. Muslim, 1162).
Ma’asyrial muslimin, rahimakumullah.
Kemuliaan Dzulhijjah tentu tidak boleh dilewatkan oleh proses ziarah sebagai pilar kelima Islam yang dilakukan bulan ini. Jelas dan jelas bahwa ziarah memiliki posisi dan makna yang sangat tinggi dalam Islam. Islamic Habjatul, Imam al Ghozali dalam karya monumentalnya melakukan ziarah sebagai puncak ibadat yang mengandung asror ilahi (rahasia), nilai etika spiritual, dan kemuliaan spiritual dari badan amal lainnya. Ibadah haji bukan hanya perjalanan fisik ke Tanah Suci, tetapi proses petualangan batin yang menembus dimensi tingkat tinggi. Ini adalah panggilan Allah yang ditujukan pada hati orang -orang yang ingin kembali ke Kudus, kepada jiwa -jiwa yang ingin sekali menghapus semua kesombongan duniawi dan bersatu dalam orbit berita utama ke Khalik. Haji adalah bidang penciptaan peradaban dan perbudakan kepada Tuhan. Ini adalah sarana belajar tentang sikap tawadlu ', kepedulian, kesabaran, disiplin, kesetaraan, dan cinta. Pandangan Al Ghozai sejalan dengan ajaran -ajaran utusan Allah (semoga saw), ketika dia ditanya tentang arti kebenaran ziarah:
Utusan Allah, semoga doa dan kedamaian Tuhan ada di atasnya, berkata: Apa kebenarannya
Utusan Allah (semoga damai di atasnya) ditanya 'Apa gunanya ziarah? Kemudian dengan tegas menjawab 'memberi makan dan meningkatkan kata'.
Dalam sejarah lain dikatakan:
Dikatakan: Wahai utusan Allah, apa itu orang benar? Dia berkata: ((Ayo makanan, dan ungkapkan kedamaian)))
Utusan Allah (semoga damai di atasnya) ditanya 'Apa gunanya ziarah? Utusan Allah (semoga damai ada di atasnya) menjawab; "Bagilah makanan dan sebarkan salam".
Haji seharusnya tidak berhenti pada ritus, tetapi berlanjut menjadi refleksi dan revolusi akhlak. Jemaah yang memahami esensi ini akan kembali dari tanah suci ke tanah air bukan hanya sebagai orang yang telah menyandang predikat haji, tetapi sebagai agen perubahan yang membawa pulang semangat keadaban dan keteladanan.
Ibadah haji bukanlah paket ritual yang cukup dijalankan secara mekanis; ia adalah arena pendidikan moral dan pembentukan karakter. Oleh karena itu, jamaah haji perlu dibekali bukan hanya dengan buku panduan atau pelatihan teknis, tetapi juga dengan pemahaman mendalam tentang akhlak al-hajj -etika yang mengiringi seluruh rangkaian manasik haji. Mulai dari kesabaran menghadapi antrian yang panjang, ketertiban dalam jadwal dan mobilisasi, hingga kesantunan dalam berinteraksi dengan sesama jemaah dari berbagai bangsa, bahasa, dan budaya. Setiap momen dalam haji adalah ujian kesungguhan hati, tempat latihan bagi jiwa yang sedang menempuh jalan penyucian (tazkiyatun nafs), membuang kerak kesombongan, keakuan, dan keinginan untuk menonjol.
Keberhasilan sebuah penyelenggaraan haji sejatinya tidak hanya diukur dari lancarnya alur pergerakan atau keberhasilan logistik semata. Ukuran yang lebih hakiki adalah sejauh mana jamaah mampu membawa pulang semangat manasik dan keadaban yang telah dilatih di Tanah Suci. Apakah sepulang dari Makkah dan Madinah, para haji menjadi pribadi yang lebih santun dalam berkata, lebih ringan tangan membantu sesama, lebih disiplin dalam ibadah, dan lebih luas rasa syukurnya kepada Allah SWT? Jika tidak, maka keberangkatan itu hanya menyentuh kulit luar saja, belum menembus inti. Di sinilah pentingnya menjadikan haji sebagai investasi moral, bukan sekadar status sosial. Sebab sebagaimana dikatakan oleh Al-Ghazali, haji adalah perjalanan menuju Allah, bukan hanya ke Baitullah. Maka setiap langkah, peluh, dan doa selama di Tanah Suci semestinya menjadi pijakan menuju perbaikan akhlak dan peningkatan kualitas hidup dalam berbangsa, bermasyarakat, dan beragama.
Al-Ghazali juga menegaskan, ibadah haji mengungkap ego dan kesombongannya. Dalam Thawaf, ia melihat simbol-simbol orbital yang menyatukan manusia dalam poros ketuhanan, menghilangkan pusat egonya. Di Arafah, sebagai muktamar universal dan ladang pengampunan terbesar bagi umat manusia. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika ibadah haji disebut sebagai peradaban ibadah yang membentuk manusia menjadi ta’abbudī (hamba yang tunduk) dan ta’adubī (manusia beradab).
Menghidupkan kembali ajaran Al-Ghazali dalam ibadah haji era kini adalah sebuah keniscayaan, terlebih di era ketika modernisasi kerap mereduksi makna spiritual menjadi sekadar rutinitas simbolik. Di tengah kemegahan fasilitas dan kemudahan logistik, justru semakin dibutuhkan kesadaran untuk kembali pada inti terdalam dari ibadah haji: penghambaan yang beradab. Bila setiap jamaah mampu menjadikan haji sebagai lompatan moral dan spiritual, maka niscaya kita tidak hanya akan menyaksikan haji yang tertib secara teknis, tetapi juga haji yang melahirkan peradaban: umat yang lebih santun, masyarakat yang lebih peduli, masyarakat yang lebih berakhlak bahkan bangsa yang lebih sejahtera. Di sinilah letak keutamaan haji yang sesungguhnya—menjadi saksi dari perjalanan menuju Allah, yang penuh hikmah dan makna.
Semoga Allah SWT memberikan taufiq dan hidayahnya kepada seluruh jamaah haji Indonesia dan dunia, baik yang telah menunaikannya dalam menunaikan dan melaksanakan Maqashid Syariah Haji menuju sebaik-baiknya peradaban kehidupan yang beradab dan damai dalam rahmat dan rahmat-Nya.
Dr. H. Khoirul Huda Basyir, Lc. M.Si (Pegawai Kemenag, Pengasuh Pesantren Al Kawkab)